Bisnis modem merupakan realitas yang amat kompleks. Banyak faktor
turut mempengaruhi dan menentukan kegiatan bisnis. Antara lain ada
faktor organisatorisma najeria, ilmiah teknologis, dan
politik-sosial-kultural. Kompleksitas bisnis itu berkaitan langsung
dengan kompleksitas masyarakat modern sekarang. Sebagai kegiatan sosial,
bisnis dengan banyak cara terjalin dengan kompleksitas masyarakat modem
itu. Semua faktor yang membentuk kompleksitas bisnis modern sudah
sering dipelajari dan dianalisis melalui pelbagai pendekatan ilmiah,
khususnya ilmu ekonomi dan
teori manajemen. Menyoroti suatu aspek bisnis yang sampai sekarang
jarang disinggung dalam uraian-uraian lain, tetapi semakin banyak diakui
pentingnya, yaitu aspek etis atau moralnya. Guna menjelaskan kekhususan
aspek etis ini, dalam suatu pendekatan pertama kita membandingkannya
dulu dengan aspek-aspek lain, terutama aspek ekonomi dan hukum.
Sebab, bisnis sebagai kegiatan sosial bisa disoroti sekurang-kurangnya
dari tiga sudut pandang yang berbeda tetapi tidak selalu mungkin
dipisahkan ini: sudut pandang ekonomi, hukum, dan etika. Ada baiknya
kita mulai dengan mempelajari beberapa kasus atau situasi bisnis
konkret, supaya di situ bisa tampak tiga sudut pandang berbeda yang
ingin kita fokuskan.
1. Sudut pandang ekonomis
Bisnis adalah kegiatan ekonomis.
Yang terjadi dalam kegiatan ini adalah tukar-menukar, jual-beli,
memproduksi memasarkan, bekerja mempekerjakan, dan interaksi manusiawi
lainnya, dengan maksud memperoleh untung. Mungkin bisnis dapat
dilukiskan sebagai kegiatan ekonomis yang kurang lebih terstruktur atau
terorganisasi untuk menghasilkan untung. Dalam bisnis modern untung itu
diekspresikan dalam bentuk uang, tetapi hal itu tidak hakiki untuk
bisnis. Yang penting ialah kegiatan antar-manusia ini bertujuan mencari
untung dan karena itu menjadi kegiatan ekonomis. Tetapi perlu segera
ditambahkan, pencarian keuntungan dalam bisnis tidak bersifat sepihak,
tetapi diadakan dalam interaksi. Bisnis berlangsung sebagai komunikasi
sosial yang menguntungkan untuk kedua belah pihak yang melibatkan diri.
Bisnis bukanlah karya amal. Karena itu bisa timbul salah paham, jika
kita mengatakan, bisnis merupakan suatu aktivitas sosial.
Kata
“sosial” di sini tidak dimaksudkan dalam arti “suka membantu orang
lain”, sebagaimana sering dimengerti dalam bahasa Indonesia, khususnya
dalam konteks populer. Bisnis justru tidak mempunyai sifat membantu
orang dengan sepihak, tanpa mengharapkan sesuatu kembali. Bila seorang
teman minta kerelaan saya untuk menukar uang kertas besar dengan uang
kecil atau uang dollar Amerika dengan uang rupiah Indonesia, kami berdua
tidak terlibat dalam perbuatan bisnis, walaupun dipandang sepintas lalu
kami mengadakan “transaksi” yang mempergunakan uang. Saya hanya menukar
uang itu untuk membantu teman. Dari situ teman saya memang mendapat
manfaat (ia membutuhkan uang kecil); saya tidak berkepentingan sedikit
pun. Selain itu, kami berdua tidak terlibat dalam suatu kegiatan yang
terorganisasi atau terstruktur. Akan tetapi, jika saya membuka
perusahaan “Money Changer” untuk pelayanan umum, saya terjun dalam
bisnis. Walaupun saya memang “melayani” banyak orang dengan menawarkan
jasa yang berguru untuk masyarakat, saya melakukannya to make money,
untuk mencari uang.
Atau contoh dari konteks lain. Bila saya
membantu kenalan dengan memperbaiki alat rumah tangga atau mobilnya yang
rusak, kami berdua tidak menjalin suatu relasi ekonomis. Saya hanya
berbuat baik kepada dia dan tidak memungut biaya.
Mungkin pada
kesempatan lain kenalan itu membantu saya juga tetapi itu pun bukan
alasan utama untuk kesediaan saya. Karena kebetulan saya bisa, saya
hanya mau membantu menghilangkan ketidakberesan yang dialami seorang
kawan dengan alat rumah tangga atau mobilnya. Tetapi bila saya bekerja
sebagai karyawan di bengkel, saya tidak saja membantu pemiliknya
(walaupun dia barangkali masih famili atau kenalan). Saya menjalin
hubungan ekonomis dengan pemilik itu, karena saya bekerja di situ untuk
memperol:.h gaji. Di samping itu mungkin ada motivasi lain lagi untuk
bekerja justru di ten Tat itu dan bukan di tempat lain. Tetapi
bagaimanapun juga, saya bekerja untuk mencari nafkah. Dan ma kin besar
gaji saya, ma kin luas kesempatan untuk bisa redup dengan baik dan
nyaman. Karena itu, seandainya di tempat lain ditaw,,rkan gaji lebih
memuaskan, kemungkinan besar saya akan pindah kerja. Di sisi :ain,
bengkel atau perusahaan apa saja yang mempekerjakan karyawan tidak
semata-mata menerima dia untuk berbuat baik kepadanya, tetapi untuk
menca ,ai tujuan perusahaan yang di samping tujuan-tujuan lain
barangkali pasti meliputi faktor memperoleh untung. Bisnis selalu
bertujuan mendapat keuntungan dan perusahaan dapat disebut organisasi
yang didirikan dengan tujuan sekali lagi, di antara tujuan-tujuan lain
meraih keuntungan.
Teori ekonomi menjelaskan bagaimana dalam sistem ekonomi pasar
bebas para pengusaha dengan memanfaatkan sumber daya yang langka
(tenaga kerja, bahan mentah, informasi/pengetahuan, modal) menghasilkan
barang dan jasa yang be guns untuk masyarakat. Para produsen akan
berusaha untuk meningkatkan penjualan demikian rupa, sehingga hasil
bersih akan mengimbangi atau malah biaya produksi. Keseimbangan itu
penting supaya perusahaan tidak merugi. Tetapi keseimbangan saja tidak
cukup. Para pemilik perusahaan menghaiapkan laba yang bisa dipakai untuk
ekspansi perusahaan atau tujuan lain. Jika kompetisi pada pasar bebas
berfungsi dengan semestinya, akan menyusul efisiensi ekonomis,
artinya hasil maksimal akan dicanai dengan pengetaran Hal itu akan
tampak dalam harga produk atau jasa yang paling menarik untuk publik.
Efisiensi merupakan kata kunci dalam ekonomi modern. Untuk mencapai tujuan itu para ekonom telah mengembangkan pelbagai teknik atau kiat.
Dipandang
dari sudut ekonomis, good business atau Ns’ pis yang baik adalah bisnis
yang membawa banyak untung. Orang bisnis selalu akan berusaha membuat
bisnis yang baik (dalam arti itu). Dapat dimengerti bila manajer kepala
ingin mempertahankan produktivitas perusahaan selama itu. Perusahaan ini
harus bersaing dengan perusahaan kimia lainnya. Jika produktivitas
menurun, biaya produksi akan bertambah, sehingga harga produknya perlu
dinaikkan. Tetapi dengan demikian harga produknya bisa menjadi terlalu
tinggi, dibanding dengan harga yang ditetapkan oleh pesaing. Akibat
tingkat produksi cenderung menurun, perusahaan bisa memasuki daerah
“angka merah”, fenomena yang sangat ditakuti setiap manajer. Nasib
manajer itu sendiri berkaitan erat dengan kemungkinan ini. Karena itu,
masuk akal saja, bila manajer kepala, Kevin Lombard, menuntut agar unit
produksi yang dipimpin Marc Jones secara minimal akan mempertahankan
tingkat produktivitas yang sama seperti di bawah pimpinan pendahulunya.
Bisa
dimengerti pula bila kepala bagian pemasaran dalam kasus 2 (Pemasok
komputer) ingin menjual sebanyak mungkin unit komputer. Hal itu akan
membawa keuntungan maksimal bagi perusahaannya dan justru itulah
alasannya ia dipekerjakan di situ. Mungkin secara pribadi ia
berkepentingan juga, karena mendapat untung ekstra bila penjualan
lancar, entah dalam bentuk bonus pada akhir tahun atau dalam bentuk
lain.
Demikian juga perusahaan (Perusahaan asbes) dan (Kerahasiaan bank)
mencoba untuk meningkatkan keuntungan. Bagi tujuan itu lebih mudah
tercapai dengan mengarahkan perhatiatinya ke luar negeri. Ini merupakan
hal lumrah dalam zaman globalisasi perdagangan sekarang. Dengan
memindahkan pabriknya ke Afrika, “Kansas Asbestos Company” berhasil
menekan biaya produksi menjadi lebih kecil daripada di negerinya sendiri
dan karena itu tingkat keuntungan bisa dipertahankan atau malah
bertambah besar. Pertimbangan ekonomis adalah satu-satunya alasan untuk
memindahkan pabriknya. Begitu pula bank di negara kecil bisa memperluas
asetnya dengan menawarkan jasa yang menarik bagi nasabah bank di luar negeri.
Justru karena negaranya kecil, bank-bank Swiss atau Luxemburg tidak
bisa mengharapkan banyak dana dari pasar modal dalam negeri. Supaya bisa
tumbuh besar, mereka menawarkan jasa dengan syarat atraktif untuk
pemilik modal luar negeri. Di sini juga pertimbangannya semata-mata
bersifat eKonomis. mengadakan bisnis yang baik.
2. Sudut pandang moral
Dengan
tetap mengakui peranan sentral dari sudut pandang ekonomis dalam
bisnis, perlu segera ditambahkan adanya sudut pandang lain lagi yang
tidak boleh diabaikan, yaitu sudut pandang moral. Hal itu bisa menjadi
jelas dengan melanjutkan refleksi atas kasus-kasus tadi. Dalam kasus 1
(Industri kimia) memang sangat hakiki agar perusahaan kimia berhasil
mempertahankan produktivitasnya. Namun demikian, dapat ditanyakan lagi
apakah produktivitas boleh dipertahankan dengan segala cara. Perusahaan
kimia itu memproduksi bahan yang berbahaya. Dalam sejarah industri
modern sudah terlalu banyak terjadi kecelakaan yang sebenarnya bisa
dihindarkan. Para manajer pabrik memikul tanggung jawab besar, bila
terjadi kecelakaa-n yang menewaskan para pekerja, merugikan kesehatan
pekerja dan masyarakat di sekitar pabrik, atau merusak lingkungan.
Mengejar keuntungan merupakan hal yang wajar, asalkan tidak tercapai
dengan merugikan pihak lain. Jadi, ada batasnya juga dalam mewujudkan
tujuan perusahaan. Di samping aspek ekonomi dari bisnis, di sini tampak
aspek lain: aspek moral. Selalu ada kendala etis bagi perilaku kita,
termasuk juga perilaku ekonomis. Tidak semuanya yang visa kita lakukan
untuk mengejar tujuan kita (di bidang bisnis: mencari keuntungan) boleh
kita lakukan juga. Kita harus menghormati kepentingan dan hak orang
lain. Pantas diperhatikan lagi bahwa dengan itu kita sendiri tidak
dirugikan. Sebaliknya, menghormati kepentingan dan hak orang lain harus
dilakukan juga demi kepentingan bisnis itu sendiri. Bila pada suatu hari
terjadi kecelakaan besar dalam industri kimia, perusahaan bersangkutan
itu sendiri bisa mengalami kerugian besar. Bukan saja kerugian pada
gedung dan peralatan, tetapi juga kerugian karena uang yang harus
dikeluarkan untuk membayar ganti rugi kepada korban dan pihak yang
dirugikan. Dan yang dialaminya bukan saja kerugian materiil, tetapi nama
baiknya jatuh juga karena ternyata lalai dalam memperhatikan
keselamatan para pekerja dan kebersihan lingkungan. Akibat kecelakaan
bisa begitu besar, sehingga perusahaan itu tidak bertahan hidup lagi.
Perilaku etis di sini penting juga demi kelangsungan hidup bisnis itu
sendiri dan demi ketahanan posisi finansialnya. Bisnis yang etis tidak
membawa kerugian bagi bisnis itu sendiri, teruta ma kalau dilihat dalam
perspektif jangka panjang.
Bisnis yang baik (good business) bukan
saja bisnis yang menguntungkan. Bisnis yang baik adalah juga bisnis yang
baik secara moral. Malah harus ditekankan, arti moralnya merupakan
salah satu arti terpenting bagi kata “baik”. Perilaku yang baik juga
dalam konteks bisnis merupakan perilaku yang sesuai dengan norma-norma
moral, sedangkan perilaku yang buruk bertentangan dengan atau menyimpang
dari norma-norma moral. Suatu perbuatan dapat dinilai baik menurut arti
terdalam justru kalau memenuhi standar etis itu.
3. Sudut pandang hukum
Tidak
bisa diragukan, bisnis terikat juga oleh hukum. “Hukum dagang” atau
“hukum bisnis” merupakan cabang penting dari ilmu hukum modern. Dan
dalam praktek hukum banyak masalah timbul dalam hubungan dengan bisnis,
pada taraf nasional maupun internasional. Seperti etika pula, hukum
merupakan sudut pandang normatif, karena menetapkan apa yang harus
dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Dari segi norma, hukum bahkan
lebih jelas dan pasti daripada etika, karena peraturan hukum dituliskan
hitam atas putih dan ada sanksi tertentu, bila terjadi pelanggaran.
Terdapat
kaitan erat antara hukum dan etika. Dalam kekaisaran Roma sudah dikenal
pepatah: Quid leges sine nioribus?, “apa artinya undang-undang, kalau
tidak disertai moralitas?” Etika selalu harus menjiwai hukum. Baik dalam
proses terbentuknya undang-undang maupun dalam pelaksanaan peraturan
hukum, etika atau moralitas memegang peranan penting. Di sini bukan
tempatnya untuk membahas hubungan antara hukum dan moralitas itu dengan
lengkap. Sudah cukup bila digarisbawahi bahwa dalam bidang bisnis,
seperti dalam banyak bidang lain pula, hukum dan etika kerap kali tidak
bisa dilepaskan satu sama lain. Memang benar, ada hal-hal yang diatur
oleh hukum yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan etika. Sama
saja, jika lalu lintas berjalan di sebelah kiri atau kanan dari badan
jalan. Di sini peraturan hukum harus ditentukan supaya keadaan tidak
menjadi kacau, tetapi cara diaturnva tidak berkaitan dengan etika. Dari
segi moral, cara yang satu tidak lebih balk dari yang lain. Tetapi
tentang banyak hal lain, hukum menegulikan keyakinz.n moral dalam
masyarakat. Pembunuhan, perampokan, penipuan, dan sebagainya adalah
tidak etis dan serentak juga dilarang menurut hukum. Di sini peraturan
hukum merupakan pengendapan atau kristalisasi dari keyakinan moral dan
serentak juga mengukuhkan keyakinan moral itu.
Walaupun terdapat
hubungan erat antara norma hukum dan norma etika, namun dua macam norma
itu tidak sama. Di samping sudut pandang hukum, kita tetap membutuhkan
sudut pandang moral. Untuk itu dapat dikemukakan beberapa alasan.
Pertama, banyak hal bersifat tidak etis, sedangkan menurut hukum tidak
dilarang. Tidak semuanya yang bersifat imoral adalah ilegal juga. Menipu
teman waktu main kartu atau menyontek waktu mengerjakan ujian sekolah
merupakan perbuatan tidak etis, tetapi dengan itu orang tidak melanggar
hukum. Kelompok pemain kartu sendiri harus mengatur apa yarq, boleh atau
tidak boleh dan sekolah itu sendiri harus membuat peraturan yang
memungkinkan mereka menangani masalah ketidakjujuran peserta ujian
secara intern. Hukum tidak perlu dan bahkan tidak bisa mengatur segala
sesuatu demikian rupa sehingga tidak akan terjadi perilaku yang kurang
etis. Malah ada perilaku yang dari segi moral sangat penting, tetapi
tidak diatur menurut hukum. Misalnya, di kebanyakan negara modern,
perselingkuhan dalam perkawinan tidak dilarang berdasarkan hukum dan
orang yang berzinah tidak bisa diadili. Tetapi tentang kualitas etis
perilaku itu tidak ada keraguan. Dalam bidang bisnis pula, hukum tidak
akan berusaha mengatur segala hal sampai detail-detail terkecil.
Berbohong waktu melamar kerja atau pencurian kecilkecilan di tempat
kerja adalah perbuatan yang tidak etis, tetapi tidak ditangani oleh
hukum. Biasanya hukum dan instansi kehakiman bare campur tangan, bila
kepentingan atau ha k orang serta instansi harus dilindungi.
Alasan Perlunya Sudut Pandang Moral Dan Sudut Pandang Hukum:
1.
Bahwa proses terbentuknya undang-undang atau peraturan-peraturan hukum
lainnya memakan waktu lama, sehingga masalahmasalah baru tidak segera
bisa diatur secara hukum. Salah satu contoh jelas adalah hukum
lingkungan hidup. Sebelum diberlakukan undang-undang lingkungan hidup,
industri sudah sering mengakibatkan polusi udara, air, atau tanah, yang
sangat merugikan masyarakat. Bila pabrik kertas umpamanya membuang
limbah industri dengan seenaknya ke dalam sungai, sehingga mengakibatkan
kerugian bagi pertanian setempat yang menggunakan air sungai untuk
keperluan irigasi sawah dan bagi masyarakat di sekitarnya yang
menggunakannya untuk keperluan rumah tangga, maka perilaku itu tidak
bersifat etis, walaupun belum dilarang menurut hukum. Tetapi hal seperti
itu telah berlangsung di hampir semua negara, karena ketentuan hukum
mengenai lingkungan hidup baru mulai dikembangkan sekitar tahun 1970-an.
Hal yang sama berlaku bagi banyak teknologi baru yang ada implikasi
etis: diaturnya secara hukum membutuhkan waktu lama, sementara itu hukum
belum sejalan dengan tuntutan etika. Secara khusus di negara-negara
berkembang yang mulai mengembangkan industrinya, dalam banyak hal
peraturan hukum masih terbelakang sekali, dibandingkan dengan negara
industri maju.
Ketertinggalan hukum, dibandingkan dengan etika,
malah tidak terbatas pada masalah-masalah baru (misalnya, disebabkan
perkembangan teknologi), masalah-masalah yang jelas-jelas tidak etis
bisa juga belum diatur secara hukum. Masalah diskriminasi di Amerika
Serikat baru diatur secara hukum dalam Civil Rights Act (1964).
Sebelumnya diskriminasi di tempat kerja (atau di bidang lain) tentu
tidak etis, tetapi dari segi hukum belum diatur. Dalam konteks
negara-negara Asia Selatan suatu contoh terkenal adalah masalah hak
milik intelektual. Amerika Serikat dan negara-negara industri lain
menuduh negaranegara seperti Cina karena mereka melanggar hak milik
intelektual dengan membajak buku, kaset rekaman, CD (Compact Disk),
perangkat lunak, merek dagang, dan sebagainya. Misalnya, barang dengan
merek bergengsi dan mahal (seperti Lanvin, Pierre Cardin, atau Saint
Yves Laurent dari Paris) ditiru dan dijual dengan harga murah.
Negara-negara industri menuntut agar negaranegara Asia ini membuat
undang-undang yang melindungi hak milik intelektual dan melaksanakannya
dengan ketat. Apalagi, sebagai konsekuensi dari Persetujuan Umum tentang
Tarif dan Perdagangan (GATT) dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO)
negara-negara itu harus membuat undang-undang tentang hak milik
intelektual atau memperbaiki undang-undang yang sudah ada (UU Hak Cipta,
UU Paten, UU Merek, dan sebagainya). Pada tahun 1985 di Indonesia
terjadi sebuah kasus yang menggemparkan dengan berita dalam media massa
internasional tentang dibajaknya kaset rekaman yang memuat lagu-lagu
artis kondang dan dibuat untuk tujuan amal. Waktu itu perbuatan tersebut
menurut hukum yang berlaku di Indonesia masih dimungkinkan, tetapi dari
segi etika tentu tidak bisa dibenarkan. Karena dua alasan: pertama,
dengan pembajakan kaset ini dilanggar hak milik orang lain; kedua,
pembajakan menjadi lebih jelek lagi karena kaset itu berkaitan dengan
maksud amal. Dapat dimengerti, bila reaksi di luar negeri terhadap
pembajak Indonesia itu sangat tajam dan emosional.
Suatu kasus
lain yang pantas dipelajari dalam konteks ini menyangkut pembajakan
merek sepatu olah raga Nike. Mahkamah Agung Republik Indonesia pada
tanggal 16 Desember 1986 dengan sebuah Peninjauan Kembali mengalahkan
perusahaan Indonesia dan memenangkan perusahaan Amerika Nike
Internasional Ltd. Alasan hukum yang eksplisit, diambil dari hukum yang
berlaku pada vvaktu itu. Tetapi rupanya secara implisit alasan lebih
penting adalah berpegang pada keyakinan etika perdagangan internasional
pada vvaktu itu, dengan mempertimbangkan efek negatif dalam perdagangan
internasional bagi Indonesia sendiri, bila masalah ini tidak
diselesaikan dengan memuaskan. Sekitar tahun 1980-an peraturan hukum
tentang merek dagang masih lemah. Sebagian karena desakan internasional,
Indonesia (sebagaimana negara-negara Asia Selatan Iainnya) membuat UU
Merek no. 19 tahun 1992 baru yang diberlakukan sejak 1 April 1993 dan
mengatur masalah merek dagang ini dengan lebih memuaskan.
2. Hukum
itu sendiri sering kali bisa disalahgunakan. Perumusan hukum tidak
pernah sempuma, sehingga orang yang beritikad buruk bisa memanfaatkan
celah-celah dalam hukum (the loopholes of the law). Peraturan hukum yang
dirumuskan dengan cara teliti sekalipun, barangkali masih memungkinkan
praktek-praktek kurang etis yang tidak bertentangan dengan huruf hukum.
Cara seperti itu dengan jelas tidak etis, karena merugikan perusahaannya
yang pertama dan melanggar kewajiban loyalitas terhadap perusahaan itu.
Tetapi secara hukum tipu muslihatnya dimungkinkan dan bisa berhasil.
3.
Bisa terjadi, hukum memang dirumuskan dengan baik, tetapi karena salah
satu alasan sulit untuk dilaksanakan, misalnya, karena sulit dijalankan
kontrol yang efektif. Tidak bisa diharapkan, peraturan hukum yang tidak
ditegakkan akan ditaati juga. Hal itu bisa terjadi di bidang lingkungan
hidup, umpamanya.
4. Hukum kerap kali mempergunakan pengertian
yang dalam konteks hukum itu sendiri tidak didefinisikan dengan jelas
dan sebenamya diambil dari konteks moral. Salah satu contoh adalah
pengertian “bonafide”. Bukannya hukum, melainkan praktek dan refleksi
morallah yang menentukan isi pengertian ini. Bisa terjadi juga,
pengadilan memutuskan suatu perkara atas dasar pertimbangan moral,
karena menurut segi hukum masalahnya tidak dapat diselesaikan, akibat
tiadanya peraturan hukum atau peraturan yang berlaku tidak jelas. Di
sini putusan MA (Merek dagang Nike) barangkali bisa dikemukakan sebagai
contoh, walaupun hal itu tidak tampak secara eksplisit. Bahkan ada kasus
di mana pertimbangan hukum dikalahkan oleh pertimbangan moral. Sebuah
contoh menarik adalah putusan pengadilan New York pada tahun 1889
tentang orang muda yang membunuh kakeknya. Walaupun cucu itu disebut
sebagai ahli waris dalam surat wasiat kakeknya, pengadilan membatalkan
haknya dengan pertimbangan yang bersifat moral bahwa orang tidak pantas
mendapat keuntungan dari kejahatannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar