Senin, 23 April 2012

Tiga Aspek Pokok Menjalankan Sebuah bisnis

Bisnis modem merupakan realitas yang amat kompleks. Banyak faktor turut mempengaruhi dan menentukan kegiatan bisnis. Antara lain ada faktor organisatorisma najeria, ilmiah teknologis, dan politik-sosial-kultural. Kompleksitas bisnis itu berkaitan langsung dengan kompleksitas masyarakat modern sekarang. Sebagai kegiatan sosial, bisnis dengan banyak cara terjalin dengan kompleksitas masyarakat modem itu. Semua faktor yang membentuk kompleksitas bisnis modern sudah sering dipelajari dan dianalisis melalui pelbagai pendekatan ilmiah, khususnya ilmu ekonomi dan teori manajemen. Menyoroti suatu aspek bisnis yang sampai sekarang jarang disinggung dalam uraian-uraian lain, tetapi semakin banyak diakui pentingnya, yaitu aspek etis atau moralnya. Guna menjelaskan kekhususan aspek etis ini, dalam suatu pendekatan pertama kita membandingkannya dulu dengan aspek-aspek lain, terutama aspek ekonomi dan hukum. Sebab, bisnis sebagai kegiatan sosial bisa disoroti sekurang-kurangnya dari tiga sudut pandang yang berbeda tetapi tidak selalu mungkin dipisahkan ini: sudut pandang ekonomi, hukum, dan etika. Ada baiknya kita mulai dengan mempelajari beberapa kasus atau situasi bisnis konkret, supaya di situ bisa tampak tiga sudut pandang berbeda yang ingin kita fokuskan.
1. Sudut pandang ekonomis
Bisnis adalah kegiatan ekonomis. Yang terjadi dalam kegiatan ini adalah tukar-menukar, jual-beli, memproduksi memasarkan, bekerja mempekerjakan, dan interaksi manusiawi lainnya, dengan maksud memperoleh untung. Mungkin bisnis dapat dilukiskan sebagai kegiatan ekonomis yang kurang lebih terstruktur atau terorganisasi untuk menghasilkan untung. Dalam bisnis modern untung itu diekspresikan dalam bentuk uang, tetapi hal itu tidak hakiki untuk bisnis. Yang penting ialah kegiatan antar-manusia ini bertujuan mencari untung dan karena itu menjadi kegiatan ekonomis. Tetapi perlu segera ditambahkan, pencarian keuntungan dalam bisnis tidak bersifat sepihak, tetapi diadakan dalam interaksi. Bisnis berlangsung sebagai komunikasi sosial yang menguntungkan untuk kedua belah pihak yang melibatkan diri. Bisnis bukanlah karya amal. Karena itu bisa timbul salah paham, jika kita mengatakan, bisnis merupakan suatu aktivitas sosial.
Kata “sosial” di sini tidak dimaksudkan dalam arti “suka membantu orang lain”, sebagaimana sering dimengerti dalam bahasa Indonesia, khususnya dalam konteks populer. Bisnis justru tidak mempunyai sifat membantu orang dengan sepihak, tanpa mengharapkan sesuatu kembali. Bila seorang teman minta kerelaan saya untuk menukar uang kertas besar dengan uang kecil atau uang dollar Amerika dengan uang rupiah Indonesia, kami berdua tidak terlibat dalam perbuatan bisnis, walaupun dipandang sepintas lalu kami mengadakan “transaksi” yang mempergunakan uang. Saya hanya menukar uang itu untuk membantu teman. Dari situ teman saya memang mendapat manfaat (ia membutuhkan uang kecil); saya tidak berkepentingan sedikit pun. Selain itu, kami berdua tidak terlibat dalam suatu kegiatan yang terorganisasi atau terstruktur. Akan tetapi, jika saya membuka perusahaan “Money Changer” untuk pelayanan umum, saya terjun dalam bisnis. Walaupun saya memang “melayani” banyak orang dengan menawarkan jasa yang berguru untuk masyarakat, saya melakukannya to make money, untuk mencari uang.
Atau contoh dari konteks lain. Bila saya membantu kenalan dengan memperbaiki alat rumah tangga atau mobilnya yang rusak, kami berdua tidak menjalin suatu relasi ekonomis. Saya hanya berbuat baik kepada dia dan tidak memungut biaya.
Mungkin pada kesempatan lain kenalan itu membantu saya juga tetapi itu pun bukan alasan utama untuk kesediaan saya. Karena kebetulan saya bisa, saya hanya mau membantu menghilangkan ketidakberesan yang dialami seorang kawan dengan alat rumah tangga atau mobilnya. Tetapi bila saya bekerja sebagai karyawan di bengkel, saya tidak saja membantu pemiliknya (walaupun dia barangkali masih famili atau kenalan). Saya menjalin hubungan ekonomis dengan pemilik itu, karena saya bekerja di situ untuk memperol:.h gaji. Di samping itu mungkin ada motivasi lain lagi untuk bekerja justru di ten Tat itu dan bukan di tempat lain. Tetapi bagaimanapun juga, saya bekerja untuk mencari nafkah. Dan ma kin besar gaji saya, ma kin luas kesempatan untuk bisa redup dengan baik dan nyaman. Karena itu, seandainya di tempat lain ditaw,,rkan gaji lebih memuaskan, kemungkinan besar saya akan pindah kerja. Di sisi :ain, bengkel atau perusahaan apa saja yang mempekerjakan karyawan tidak semata-mata menerima dia untuk berbuat baik kepadanya, tetapi untuk menca ,ai tujuan perusahaan yang di samping tujuan-tujuan lain barangkali pasti meliputi faktor memperoleh untung. Bisnis selalu bertujuan mendapat keuntungan dan perusahaan dapat disebut organisasi yang didirikan dengan tujuan sekali lagi, di antara tujuan-tujuan lain meraih keuntungan.
Teori ekonomi menjelaskan bagaimana dalam sistem ekonomi pasar bebas para pengusaha dengan memanfaatkan sumber daya yang langka (tenaga kerja, bahan mentah, informasi/pengetahuan, modal) menghasilkan barang dan jasa yang be guns untuk masyarakat. Para produsen akan berusaha untuk meningkatkan penjualan demikian rupa, sehingga hasil bersih akan mengimbangi atau malah biaya produksi. Keseimbangan itu penting supaya perusahaan tidak merugi. Tetapi keseimbangan saja tidak cukup. Para pemilik perusahaan menghaiapkan laba yang bisa dipakai untuk ekspansi perusahaan atau tujuan lain. Jika kompetisi pada pasar bebas berfungsi dengan semestinya, akan menyusul efisiensi ekonomis, artinya hasil maksimal akan dicanai dengan pengetaran Hal itu akan tampak dalam harga produk atau jasa yang paling menarik untuk publik. Efisiensi merupakan kata kunci dalam ekonomi modern. Untuk mencapai tujuan itu para ekonom telah mengembangkan pelbagai teknik atau kiat.
Dipandang dari sudut ekonomis, good business atau Ns’ pis yang baik adalah bisnis yang membawa banyak untung. Orang bisnis selalu akan berusaha membuat bisnis yang baik (dalam arti itu). Dapat dimengerti bila manajer kepala ingin mempertahankan produktivitas perusahaan selama itu. Perusahaan ini harus bersaing dengan perusahaan kimia lainnya. Jika produktivitas menurun, biaya produksi akan bertambah, sehingga harga produknya perlu dinaikkan. Tetapi dengan demikian harga produknya bisa menjadi terlalu tinggi, dibanding dengan harga yang ditetapkan oleh pesaing. Akibat tingkat produksi cenderung menurun, perusahaan bisa memasuki daerah “angka merah”, fenomena yang sangat ditakuti setiap manajer. Nasib manajer itu sendiri berkaitan erat dengan kemungkinan ini. Karena itu, masuk akal saja, bila manajer kepala, Kevin Lombard, menuntut agar unit produksi yang dipimpin Marc Jones secara minimal akan mempertahankan tingkat produktivitas yang sama seperti di bawah pimpinan pendahulunya.
Bisa dimengerti pula bila kepala bagian pemasaran dalam kasus 2 (Pemasok komputer) ingin menjual sebanyak mungkin unit komputer. Hal itu akan membawa keuntungan maksimal bagi perusahaannya dan justru itulah alasannya ia dipekerjakan di situ. Mungkin secara pribadi ia berkepentingan juga, karena mendapat untung ekstra bila penjualan lancar, entah dalam bentuk bonus pada akhir tahun atau dalam bentuk lain.
Demikian juga perusahaan (Perusahaan asbes) dan (Kerahasiaan bank) mencoba untuk meningkatkan keuntungan. Bagi tujuan itu lebih mudah tercapai dengan mengarahkan perhatiatinya ke luar negeri. Ini merupakan hal lumrah dalam zaman globalisasi perdagangan sekarang. Dengan memindahkan pabriknya ke Afrika, “Kansas Asbestos Company” berhasil menekan biaya produksi menjadi lebih kecil daripada di negerinya sendiri dan karena itu tingkat keuntungan bisa dipertahankan atau malah bertambah besar. Pertimbangan ekonomis adalah satu-satunya alasan untuk memindahkan pabriknya. Begitu pula bank di negara kecil bisa memperluas asetnya dengan menawarkan jasa yang menarik bagi nasabah bank di luar negeri. Justru karena negaranya kecil, bank-bank Swiss atau Luxemburg tidak bisa mengharapkan banyak dana dari pasar modal dalam negeri. Supaya bisa tumbuh besar, mereka menawarkan jasa dengan syarat atraktif untuk pemilik modal luar negeri. Di sini juga pertimbangannya semata-mata bersifat eKonomis. mengadakan bisnis yang baik.
2. Sudut pandang moral
Dengan tetap mengakui peranan sentral dari sudut pandang ekonomis dalam bisnis, perlu segera ditambahkan adanya sudut pandang lain lagi yang tidak boleh diabaikan, yaitu sudut pandang moral. Hal itu bisa menjadi jelas dengan melanjutkan refleksi atas kasus-kasus tadi. Dalam kasus 1 (Industri kimia) memang sangat hakiki agar perusahaan kimia berhasil mempertahankan produktivitasnya. Namun demikian, dapat ditanyakan lagi apakah produktivitas boleh dipertahankan dengan segala cara. Perusahaan kimia itu memproduksi bahan yang berbahaya. Dalam sejarah industri modern sudah terlalu banyak terjadi kecelakaan yang sebenarnya bisa dihindarkan. Para manajer pabrik memikul tanggung jawab besar, bila terjadi kecelakaa-n yang menewaskan para pekerja, merugikan kesehatan pekerja dan masyarakat di sekitar pabrik, atau merusak lingkungan. Mengejar keuntungan merupakan hal yang wajar, asalkan tidak tercapai dengan merugikan pihak lain. Jadi, ada batasnya juga dalam mewujudkan tujuan perusahaan. Di samping aspek ekonomi dari bisnis, di sini tampak aspek lain: aspek moral. Selalu ada kendala etis bagi perilaku kita, termasuk juga perilaku ekonomis. Tidak semuanya yang visa kita lakukan untuk mengejar tujuan kita (di bidang bisnis: mencari keuntungan) boleh kita lakukan juga. Kita harus menghormati kepentingan dan hak orang lain. Pantas diperhatikan lagi bahwa dengan itu kita sendiri tidak dirugikan. Sebaliknya, menghormati kepentingan dan hak orang lain harus dilakukan juga demi kepentingan bisnis itu sendiri. Bila pada suatu hari terjadi kecelakaan besar dalam industri kimia, perusahaan bersangkutan itu sendiri bisa mengalami kerugian besar. Bukan saja kerugian pada gedung dan peralatan, tetapi juga kerugian karena uang yang harus dikeluarkan untuk membayar ganti rugi kepada korban dan pihak yang dirugikan. Dan yang dialaminya bukan saja kerugian materiil, tetapi nama baiknya jatuh juga karena ternyata lalai dalam memperhatikan keselamatan para pekerja dan kebersihan lingkungan. Akibat kecelakaan bisa begitu besar, sehingga perusahaan itu tidak bertahan hidup lagi. Perilaku etis di sini penting juga demi kelangsungan hidup bisnis itu sendiri dan demi ketahanan posisi finansialnya. Bisnis yang etis tidak membawa kerugian bagi bisnis itu sendiri, teruta ma kalau dilihat dalam perspektif jangka panjang.
Bisnis yang baik (good business) bukan saja bisnis yang menguntungkan. Bisnis yang baik adalah juga bisnis yang baik secara moral. Malah harus ditekankan, arti moralnya merupakan salah satu arti terpenting bagi kata “baik”. Perilaku yang baik juga dalam konteks bisnis merupakan perilaku yang sesuai dengan norma-norma moral, sedangkan perilaku yang buruk bertentangan dengan atau menyimpang dari norma-norma moral. Suatu perbuatan dapat dinilai baik menurut arti terdalam justru kalau memenuhi standar etis itu.
3. Sudut pandang hukum
Tidak bisa diragukan, bisnis terikat juga oleh hukum. “Hukum dagang” atau “hukum bisnis” merupakan cabang penting dari ilmu hukum modern. Dan dalam praktek hukum banyak masalah timbul dalam hubungan dengan bisnis, pada taraf nasional maupun internasional. Seperti etika pula, hukum merupakan sudut pandang normatif, karena menetapkan apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Dari segi norma, hukum bahkan lebih jelas dan pasti daripada etika, karena peraturan hukum dituliskan hitam atas putih dan ada sanksi tertentu, bila terjadi pelanggaran.
Terdapat kaitan erat antara hukum dan etika. Dalam kekaisaran Roma sudah dikenal pepatah: Quid leges sine nioribus?, “apa artinya undang-undang, kalau tidak disertai moralitas?” Etika selalu harus menjiwai hukum. Baik dalam proses terbentuknya undang-undang maupun dalam pelaksanaan peraturan hukum, etika atau moralitas memegang peranan penting. Di sini bukan tempatnya untuk membahas hubungan antara hukum dan moralitas itu dengan lengkap. Sudah cukup bila digarisbawahi bahwa dalam bidang bisnis, seperti dalam banyak bidang lain pula, hukum dan etika kerap kali tidak bisa dilepaskan satu sama lain. Memang benar, ada hal-hal yang diatur oleh hukum yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan etika. Sama saja, jika lalu lintas berjalan di sebelah kiri atau kanan dari badan jalan. Di sini peraturan hukum harus ditentukan supaya keadaan tidak menjadi kacau, tetapi cara diaturnva tidak berkaitan dengan etika. Dari segi moral, cara yang satu tidak lebih balk dari yang lain. Tetapi tentang banyak hal lain, hukum menegulikan keyakinz.n moral dalam masyarakat. Pembunuhan, perampokan, penipuan, dan sebagainya adalah tidak etis dan serentak juga dilarang menurut hukum. Di sini peraturan hukum merupakan pengendapan atau kristalisasi dari keyakinan moral dan serentak juga mengukuhkan keyakinan moral itu.
Walaupun terdapat hubungan erat antara norma hukum dan norma etika, namun dua macam norma itu tidak sama. Di samping sudut pandang hukum, kita tetap membutuhkan sudut pandang moral. Untuk itu dapat dikemukakan beberapa alasan. Pertama, banyak hal bersifat tidak etis, sedangkan menurut hukum tidak dilarang. Tidak semuanya yang bersifat imoral adalah ilegal juga. Menipu teman waktu main kartu atau menyontek waktu mengerjakan ujian sekolah merupakan perbuatan tidak etis, tetapi dengan itu orang tidak melanggar hukum. Kelompok pemain kartu sendiri harus mengatur apa yarq, boleh atau tidak boleh dan sekolah itu sendiri harus membuat peraturan yang memungkinkan mereka menangani masalah ketidakjujuran peserta ujian secara intern. Hukum tidak perlu dan bahkan tidak bisa mengatur segala sesuatu demikian rupa sehingga tidak akan terjadi perilaku yang kurang etis. Malah ada perilaku yang dari segi moral sangat penting, tetapi tidak diatur menurut hukum. Misalnya, di kebanyakan negara modern, perselingkuhan dalam perkawinan tidak dilarang berdasarkan hukum dan orang yang berzinah tidak bisa diadili. Tetapi tentang kualitas etis perilaku itu tidak ada keraguan. Dalam bidang bisnis pula, hukum tidak akan berusaha mengatur segala hal sampai detail-detail terkecil. Berbohong waktu melamar kerja atau pencurian kecilkecilan di tempat kerja adalah perbuatan yang tidak etis, tetapi tidak ditangani oleh hukum. Biasanya hukum dan instansi kehakiman bare campur tangan, bila kepentingan atau ha k orang serta instansi harus dilindungi.
Alasan Perlunya Sudut Pandang Moral Dan Sudut Pandang Hukum:
1. Bahwa proses terbentuknya undang-undang atau peraturan-peraturan hukum lainnya memakan waktu lama, sehingga masalahmasalah baru tidak segera bisa diatur secara hukum. Salah satu contoh jelas adalah hukum lingkungan hidup. Sebelum diberlakukan undang-undang lingkungan hidup, industri sudah sering mengakibatkan polusi udara, air, atau tanah, yang sangat merugikan masyarakat. Bila pabrik kertas umpamanya membuang limbah industri dengan seenaknya ke dalam sungai, sehingga mengakibatkan kerugian bagi pertanian setempat yang menggunakan air sungai untuk keperluan irigasi sawah dan bagi masyarakat di sekitarnya yang menggunakannya untuk keperluan rumah tangga, maka perilaku itu tidak bersifat etis, walaupun belum dilarang menurut hukum. Tetapi hal seperti itu telah berlangsung di hampir semua negara, karena ketentuan hukum mengenai lingkungan hidup baru mulai dikembangkan sekitar tahun 1970-an. Hal yang sama berlaku bagi banyak teknologi baru yang ada implikasi etis: diaturnya secara hukum membutuhkan waktu lama, sementara itu hukum belum sejalan dengan tuntutan etika. Secara khusus di negara-negara berkembang yang mulai mengembangkan industrinya, dalam banyak hal peraturan hukum masih terbelakang sekali, dibandingkan dengan negara industri maju.
Ketertinggalan hukum, dibandingkan dengan etika, malah tidak terbatas pada masalah-masalah baru (misalnya, disebabkan perkembangan teknologi), masalah-masalah yang jelas-jelas tidak etis bisa juga belum diatur secara hukum. Masalah diskriminasi di Amerika Serikat baru diatur secara hukum dalam Civil Rights Act (1964). Sebelumnya diskriminasi di tempat kerja (atau di bidang lain) tentu tidak etis, tetapi dari segi hukum belum diatur. Dalam konteks negara-negara Asia Selatan suatu contoh terkenal adalah masalah hak milik intelektual. Amerika Serikat dan negara-negara industri lain menuduh negaranegara seperti Cina karena mereka melanggar hak milik intelektual dengan membajak buku, kaset rekaman, CD (Compact Disk), perangkat lunak, merek dagang, dan sebagainya. Misalnya, barang dengan merek bergengsi dan mahal (seperti Lanvin, Pierre Cardin, atau Saint Yves Laurent dari Paris) ditiru dan dijual dengan harga murah. Negara-negara industri menuntut agar negaranegara Asia ini membuat undang-undang yang melindungi hak milik intelektual dan melaksanakannya dengan ketat. Apalagi, sebagai konsekuensi dari Persetujuan Umum tentang Tarif dan Perdagangan (GATT) dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) negara-negara itu harus membuat undang-undang tentang hak milik intelektual atau memperbaiki undang-undang yang sudah ada (UU Hak Cipta, UU Paten, UU Merek, dan sebagainya). Pada tahun 1985 di Indonesia terjadi sebuah kasus yang menggemparkan dengan berita dalam media massa internasional tentang dibajaknya kaset rekaman yang memuat lagu-lagu artis kondang dan dibuat untuk tujuan amal. Waktu itu perbuatan tersebut menurut hukum yang berlaku di Indonesia masih dimungkinkan, tetapi dari segi etika tentu tidak bisa dibenarkan. Karena dua alasan: pertama, dengan pembajakan kaset ini dilanggar hak milik orang lain; kedua, pembajakan menjadi lebih jelek lagi karena kaset itu berkaitan dengan maksud amal. Dapat dimengerti, bila reaksi di luar negeri terhadap pembajak Indonesia itu sangat tajam dan emosional.
Suatu kasus lain yang pantas dipelajari dalam konteks ini menyangkut pembajakan merek sepatu olah raga Nike. Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tanggal 16 Desember 1986 dengan sebuah Peninjauan Kembali mengalahkan perusahaan Indonesia dan memenangkan perusahaan Amerika Nike Internasional Ltd. Alasan hukum yang eksplisit, diambil dari hukum yang berlaku pada vvaktu itu. Tetapi rupanya secara implisit alasan lebih penting adalah berpegang pada keyakinan etika perdagangan internasional pada vvaktu itu, dengan mempertimbangkan efek negatif dalam perdagangan internasional bagi Indonesia sendiri, bila masalah ini tidak diselesaikan dengan memuaskan. Sekitar tahun 1980-an peraturan hukum tentang merek dagang masih lemah. Sebagian karena desakan internasional, Indonesia (sebagaimana negara-negara Asia Selatan Iainnya) membuat UU Merek no. 19 tahun 1992 baru yang diberlakukan sejak 1 April 1993 dan mengatur masalah merek dagang ini dengan lebih memuaskan.
2. Hukum itu sendiri sering kali bisa disalahgunakan. Perumusan hukum tidak pernah sempuma, sehingga orang yang beritikad buruk bisa memanfaatkan celah-celah dalam hukum (the loopholes of the law). Peraturan hukum yang dirumuskan dengan cara teliti sekalipun, barangkali masih memungkinkan praktek-praktek kurang etis yang tidak bertentangan dengan huruf hukum. Cara seperti itu dengan jelas tidak etis, karena merugikan perusahaannya yang pertama dan melanggar kewajiban loyalitas terhadap perusahaan itu. Tetapi secara hukum tipu muslihatnya dimungkinkan dan bisa berhasil.
3. Bisa terjadi, hukum memang dirumuskan dengan baik, tetapi karena salah satu alasan sulit untuk dilaksanakan, misalnya, karena sulit dijalankan kontrol yang efektif. Tidak bisa diharapkan, peraturan hukum yang tidak ditegakkan akan ditaati juga. Hal itu bisa terjadi di bidang lingkungan hidup, umpamanya.
4. Hukum kerap kali mempergunakan pengertian yang dalam konteks hukum itu sendiri tidak didefinisikan dengan jelas dan sebenamya diambil dari konteks moral. Salah satu contoh adalah pengertian “bonafide”. Bukannya hukum, melainkan praktek dan refleksi morallah yang menentukan isi pengertian ini. Bisa terjadi juga, pengadilan memutuskan suatu perkara atas dasar pertimbangan moral, karena menurut segi hukum masalahnya tidak dapat diselesaikan, akibat tiadanya peraturan hukum atau peraturan yang berlaku tidak jelas. Di sini putusan MA (Merek dagang Nike) barangkali bisa dikemukakan sebagai contoh, walaupun hal itu tidak tampak secara eksplisit. Bahkan ada kasus di mana pertimbangan hukum dikalahkan oleh pertimbangan moral. Sebuah contoh menarik adalah putusan pengadilan New York pada tahun 1889 tentang orang muda yang membunuh kakeknya. Walaupun cucu itu disebut sebagai ahli waris dalam surat wasiat kakeknya, pengadilan membatalkan haknya dengan pertimbangan yang bersifat moral bahwa orang tidak pantas mendapat keuntungan dari kejahatannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar